Teringat saat itu, ketika aku memutuskan untuk menikah di tahun 2001. Umurku sudah tergolong dewasa untuk memasuki pernikahan pada waktu itu. Semua berjalan dengan lancar karena aku dan suamiku memang sudah sangat teliti mempersiapkannya dan yang terpenting adalah karena kasih Tuhan yang sangat besar dalam kehidupan kami. Saat mengawali pernikahan, sesungguhnya aku masih samar dengan kesiapanku untuk memiliki buah hati, karena focus hidupku masih sangat berat dalam berkarir. Hal itulah yang saat ini menjadi renungan dalam kehidupanku.
Memutuskan untuk menikah bagi seorang wanita artinya sudah memiliki komitment untuk menjadi seorang istri dan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karir sedang menjalankan peran ganda. Sangat disadari bagi seorang wanita muda dengan semangat yang bergelora mengejar mimpi-mimpi dalam pekerjaan akan sangat merasa terganggu ketika dia harus menjalani peran juga sebagai ibu rumah tangga.
Kembali kepada tujuan awal membentuk rumah tangga, sesungguhnya banyak pasangan menikah tanpa dasar yang kuat. Menikah karena kepepet usia, menikah karena takut ditinggal pasangan padahal sudah sekian lama pacaran atau menikah karena desakan orang-orang terdekat, atau alasan lain, namun apapun itu tidak akan menjadi landasan kuat dalam sebuah pernikahan. Saat mulai membicarakan pernikahan dengan pasangan, komitmen kedua belah pihak dan penyerahan penuh pada Sang Pencipta akan selalu mengarahkan hati untuk mendapatkan hikmat dariNya dalam setiap langkah kehidupan. Dua pribadi yang menjadi satu dalam ikatan pernikahan, dengan segala latar belakang yang berbeda tidak akan menjadi masalah apabila sudah disadari sejak awal bahwa akan banyak perbedaan-perbedaan yang harus diselaraskan, artinya akan ada kerelaan dan kerendahan hati untuk di sini. Lain halnya apabila hal tersebut disadari setelah pernikahan terjadi. Masalah demi masalah seperti jamur yang berkembang di musim hujan akibat perbedaan yang tidak diantisipasi sejak awal.
Bersikap terbuka dengan pasangan pada awal merencanakan pernikahan adalah langkah yang baik, tidak seperti kebiasaan banyak orang yang menyembunyikan hal-hal buruk di saat pacaran dan akhirnya muncul di permukaan setelah menikah. Termasuk semua rencana yang ingin dijalankan setelah menikah seharusnya dibicarakan,karena rencana yang samar akan mengacaukan perjalanan pernikahan ibarat kapal yang siap mengarungi samudera agar lancar sampai tujuan harus dipersiapkan sebaik-baiknya termasuk semua perangkat berfungsi dengan baik. Misalnya Suami mengharapkan langsung memiliki anak ketika menikah, berbeda dengan istri ternyata masih mau focus berkarir, memiliki anak nanti saja atau ditunda dulu. Hal ini sungguh akan sangat menggusur kebahagiaan rumah tangga.
Ada pula yang berpendapat bahwa setelah memiliki anak maka ibu bisa focus lagi berkarir mengenai urusan anak kan bisa bayar pengasuh. Pada kenyataannya tidak semudah dengan mengucapkan, bukan hanya sekedar mencari orang untuk dititipi anak, tetapi adalah orang yang benar-benar dapat dipercaya untuk mengurus, menjaga dan memberikan perhatian kepada anak selama ibu tidak bersamanya. Satu hal lagi konsekwensinya adalah perkembangan mental anak kita akan mengarah kepada hal di luar pengendalian kita karena sebagian waktu dia habiskan bukan dengan orang tuanya melainkan dengan orang lain, bahkan ada anak yang lebih dekat dan sayang kepada pengasuhnya ketimang ibunya sendiri. Apakah ibu siap dengan kenyataan-kenyataan ini?
Intinya bersikap terbuka di awal merencanakan pernikahan adalah mematahkan tujuan pernikahan yang samar atau menyibakkan kabut sehingga tujuan pernikahan menjadi terang-benderang dalam komitment dari kedua pihak untuk menjalaninya bersama.
Sebuah hubungan yang dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan akan aman dan damai dalam perjalanan dan sampai pada tujuan dengan selamat.
No comments:
Post a Comment